Transformasi Warung Tradisional

Akhir-akhir ini media sosial sedang gencar mengkampanyekan sebuah gerakan, yaitu “Gerakan Belanja di Warung Tetangga”. Gerakan yang bagi saya pribadi memang bagus untuk meningkatkan perekonomian warga sekitar kita, bukan para investor kaya yang menanamkan sahamnya di toko-toko retail modern berjejaring raksasa yang ada di Indonesia. Namun, mohon ijin untuk kesempatan kali ini saya akan mengulas dari sudut pandang lain, bukan bermaksud tidak membela gerakan tersebut, namun berandai-andai apabila masyarakat sama-sama bergerak dan bertarung untuk mengalahkan raksasa berjejaring tersebut bukan hanya bermodal “empati” semata, akan tetapi kali ini bertarung dengan profesional bisnis.
Pertama, bisnis yang baik untuk menghadapi bonus demografi yang dialami Indonesia pada saat ini adalah bisnis yang menyerap banyak tenaga kerja. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Dilansir dari katadata.co.id, toko retail modern yang kita anggap monster saat ini yang berawalan “I” pada Juni 2018 memiliki 15.526 gerai dan yang berawalan “A” memiliki 13.522 gerai, dan terus bertumbuh hingga akhir 2019 ini jika digabung, lebih dari 30 ribu gerai toko modern yang telah berdiri. Jika kita membenarkan bahwa membeli di warung akan menyelamatkan minimal satu kepala keluarga, berapakah jumlah keluarga yang bersandar pada satu gerai toko modern? Ya, lebih dari satu bahkan bisa sampai 10x lipat. Tentu penyerapan tenaga kerja di toko modern lebih baik ketimbang warung tradisional.

Kedua, Harga Pokok Penjualan atau bahasa gampangnya “kulakan/grosir” toko modern dan warung tradisional tentu berbeda. Mereka (toko modern), bisa memperoleh HPP serendah-rendahnya sehingga dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar. Tentu karena kuantitas pembelian mereka yang besar, berbeda dengan warung tradisional yang membeli dengan kuantitas kecil tentu para supplier akan memberikan harga grosir yang berbeda jauh. Pada tahun 2015, saya bersama rekan-rekan pernah mengelola mini market di Koperasi Mahasiswa (Kopma) saat S1, kami bisa menjual air mineral dalam kemasan (AMDK) seharga Rp 1.300, harga yang terbilang sangat murah untuk penjualan AMDK. Belum cukup di sana, AMDK ini pun disertai botol yang dibubuhi logo Kopma kami dan masih banyak perjanjian-perjanjian antara perusahaan AMDK dengan kami yang tentunya menguntungkan Kopma kami. Hal ini terjadi karena kami setuju untuk membuat kesepakatan pembelian dengan jumlah tertetu, semakin banyak jumlah yang kami beli maka semakin murah dan semakin banyak pula fasilitas yang dapat kami nikmati dari perusahaan AMDK tersebut. Berbeda jika kita hanya membeli grosir dengan jumlah yang kecil-kecilan. Ini baru minimarket Kopma yang saat itu jumlahnya baru 2 gerai, bagaimana dengan perjanjian supplier bersama pihak Toko Modern yang memiliki belasan ribu hingga puluhan ribu gerai?

Ketiga, soal kepastian dan kenyamanan. Masuk toko modern, kita disambut sapaan dan senyum hangat dengan AC yang dingin, ruangan yang cerah menyilaukan dan stok barang yang tersusun rapi membuat kita mudah mencari barang-barang yang kita butuhkan. Sangat cocok untuk kehidupan yang serba cepat saat ini. Dengan demikian, saya termasuk yang tetap mendorong adanya toko modern.
Terkait beberapa asumsi toko modern mematikan warung tradisional belum cukup membuat keinginan saya untuk mendorong adanya toko modern. Ini perihal kebutuhan era saat ini. Sehingga terkadang saya berandai-andai, andai saja para pemilik warung tradisional di suatu desa misalnya, bergabung dan merangkul warga-warga desa lainnya untuk membentuk toko modern yang nyaman dan stok berlimpah, apa yang akan terjadi? Minimal poin pertama hingga ketiga bisa tercapai di desa tersebut. Warga desa bisa mempekerjakan para pemuda di sana tidak hanya satu dua keluarga. Para pemilik warung tradisional tidak perlu mengecer ke supplier, mereka bisa menambah kapasitas pembelian dan memperoleh HPP yang rendah. Tentu, bisa memperoleh kenyamanan berbelanja juga dengan manajemen stok yang lebih baik.

Setelah mengetahui HPP Toko Modern yang cukup minim berarti mereka mengambil profit margin yang besar? Iya, jelas. Hal ini operasional Toko Modern tentu tidak sedikit. Namun, tetap tetap lebih besar profitnya daripada warung tradisional yang digabung sekalipun. Lantas kemana uang-uang besar itu lari? Ya, ke manajemen dan investor tentunya setelah dikurangi beban-beban termasuk beban gaji karyawan yang besar. Namun, lain cerita jika pemilik toko modern tersebut adalah seluruh warga yang membentuk satu Koperasi. Selain bisa mempekerjakan warga desa, bisa titip jual beberapa barang homemade (makanan, pernak-pernik, dsb), ada Sisa Hasil Usaha juga yang bisa dibagikan ke seluruh warga desa tersebut, bukan ke investor kaya saja. Mungkin bagi sebagian pihak, ini terlalu muluk-muluk, namun apa salahnya jika ada yang bisa menerapkan? Tentu hal tersebut bisa terjadi dengan bantuan pihak profesional dan regulasi pemerintah yang mendukung adanya Koperasi warga desa tersebut. Warung tradisional mungkin saja bisa mati, namun pemilik warung tradisional tersebut sudah bertransformasi menjadi pemilik toko modern.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *