Persiapan UTBK: Tentang Sebuah Proses

Assalamu’alaikum wr wb
Salam sejahtera untuk kita semua,
Konsisten itu tidak mudah ya, hehe. Sibuk? Sepertinya tidak, hanya seorang buruh ajar yang masih juga belajar. Termasuk belajar konsisten. Namun, sepertinya bukan ini topik yang akan dibahas dalam tulisan ini. Lain kali mungkin bisa kita bahas ya 🙂

Tahun ini kali ketiga aku menjadi bagian dari pengajar persiapan masuk Perguruan Tinggi Negeri di Lembaga. Kali ketigaku bertemu dengan siswa-siswa yang memiliki harapan yang sama yaitu diterima di PTN favorit mereka. Lantas apa yang ingin aku ceritakan? Ya prosesnya. Percayalah, mau masuk jurusan seabstrak mungkin juga ada saingannya, apalagi jurusan favorit di perguruan tinggi favorit juga.

Aku adalah seorang pengajar ekonomi, yang menjadi salah satu pelajaran yang diujikan dalam tes masuk perguruan tinggi negeri, saat ini disebut UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer). Awalnya kaget dengan singkatan tersebut, ujian tulis kok computer? Ya sudah lah, bukan urusan kita soal memberi nama. Langsung pada inti perbincanganya.

Aku beberapa kali melakukan uji coba ke siswa soal-soal tipe UTBK ini (yang katanya sulit) dengan waktu uji 18 menit untuk 20 soal, alias siswa harus mampu mengerjakan soal-soal tersebut kurang dari 1 menit untuk setiap butir soalnya. Apakah sanggup? Kenyataannya banyak yang sanggup, kok. Untuk soal UTBK ekonomi satu kelas tersebut sudah mampu benar diatas 50% bahkan ada yang salah hanya 2 atau 3 butir soal saja.
Sontak ada yang bertanya, “dari SMA mana mbak?”
Aku jawab, “SMA N 2 Surabaya, dek”
Mereka jawab, “wah, ya pantes”

Hei. Bukan berarti salah statement mereka. Namun, inilah yang membuat blockade pada dalam diri, ketika kamu bukan berasal dari SMA favorit dan merasa tidak pantas dan tidak lebih pintar dari SMA favorit. Jangan. Buang jauh-jauh pemikiran itu. Bertahun-tahun saya mengajar, mengajar siswa yang berasal dari lebih dari belasan sekolah di Surabaya dan memiliki latar belakang karakter yang beraneka ragam juga, membuatku menyimpulkan bahwa, sebenarnya tidak ada “pintar dan bodoh” yang ada hanyalah “mau dan tidak mau”. Ya, mau untuk bias atau tidak.
Bagaimana mereka tidak mendapat hasil terbaik jika kenyataannya anak-anak Smada ini memang effort belajarnya tinggi. Selain di kelas yang telah diberikan oleh lembaga, saat itu seminggu tiga-empat kali dalam seminggu, mereka selalu meminta jam tambahan untuk terus membahas soal-soal. Bahkan setiap aku meminta untuk mencari soal-soal lain, ya mereka mencarinya, dan mengerjakan tentunya. Aku tau perjuangan mereka belajar, hingga larut malam. Aku tidur biasa dini hari, sehingga pertanyaan-pertanyaan mereka terkait soal-soal dari mereka selalu menemaniku.
Selain Smada, yang lebih dikenal superpower adalah Smala (SMA N 5 Surabaya).
Kerap kata-kata yang muncul adalah, “Ah, Smala, yo pantes bisa.”
Ya, mungkin bisa benar juga, cerdas bawaan lahir siapa yang bisa mengetahui. Namun, yang mau aku garis bawahi adalah, sama dengan anak Smada tadi, anak-anak Smala yang pernah aku ampu pun luar biasa super. Bahkan, mereka bisa sehari semalam di Lembaga untuk belajar bersama, entah ada pengajar maupun tidak. Ya nyambi main game dan bermusik dalam setiap jeda mereka, namun konsistensi mereka luar biasa.

Apa tidak dicari orang tua? Lembaga seakan menjadi rumah kedua, eh, malah rumah pertama, karena jauh lebih lama di lembaga ketimbang di rumah. Alhamdulillah, ortu mereka support, bahkan mau menunggu saat mereka pulang.
Ya, integrasi antara keinginan siswa dan orang tua sangat diperlukan.
Lalu, apakah dari SMA lain tidak begitu? Banyak yang begitu kok, tidak memandang sekolahnya, namun, membuat kelompok belajar sepertinya cukup efektif untuk memacu semangat kita. Daripada belajar sendiri. Setidaknya saat kita down, melihat teman-teman kita semangat, kita akan terpacu untuk semangat lagi.

Percayalah, perjuangan UTBK besok tidak mudah. Namun, tidak mudah bukan berarti kita tidak bisa. Berjuang! insyaAllah hasilnya akan sesuai dengan proses yang kita upayakan. Semangat ya semuanya, jangan pernah membentengi diri dengan pesimisme. Sekalipun kemungkinan gagal 99%, masih ada 1% yang bisa kita perjuangkan. Salam semangat ~ azr

Regards,
Anggia Zainur Rahmah
Bachelor of Education


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *