DILAN 1991: SEBUAH REVIEW FILM

Assalamu’alaikum wr wb

Salam sejahtera untuk kita semua

Isi blog saat tidak ada challenge memang cenderung random ya, maaf. Namun, ini berangkat dari keresahan hati yang terdalam. Aku menyukai dunia perfilman Indonesia, jika di bioskop ada pilihan film Indonesia yang menarik, pasti aku tonton. Mulai dari tahun 2012 film 5cm yang menceritakan kisah perjalanan di Gunung Semeru, film tentang tentara Indonesia, film tentang tim SAR Indonesia, film romance hingga film komedi Indonesia selalu aku tunggu. Termasuk film yang berangkat dari novel best seller ini, Dilan.

Dilan 1990, kesan pertamaku adalah, klasik dan menggemaskan. Ya, kelemahan wanita ada pada telinganya, sehingga mudah baper kalau dengar gombalan klasik yang receh seperti gombalannya Dilan. Padahal jika dipikir kembali, ini bukan kisah romance usiaku yang terlampau jauh dari Milea dan Dilan, ini kisah siswa-siswa ku di Lembaga. Ah, sudah lah. Cukup tonton dan apresiasi saja. Beranjak ke Dilan 1991, berbeda dengan Dilan 1990 yang masih PDKT, pada Dilan 1991, Milea dan Dilan sudah resmi berpacaran. Pengambilan point of view yang bagus dan pemeran yang profesional cukup memanjakan mata kita selama 2 jam lebih. Aku pun sempat tertawa karena kisahnya ada yang mirip dengan kisahku saat bang Adi main ke rumah Milea dan Dilan bawa semua teman-teman geng motornya untuk merayakan hari jadi mereka, ramai. Bedanya, kalau kisahku, karena aku tidak memiliki Dilan, saat ada “monster” datang ke rumahku, aku panggil semua teman-temanku sendiri yang memang semuanya laki-laki. Kebayang situasinya, kan? He he.

Lepas dari gelak tawa, awalnya, aku terus mencoba positif thinking, ya. Latar belakang kisah ini adalah tahun 1991, alias 28 tahun yang lalu, aku pun belum lahir di dunia ini. Dimana program Keluarga Berencana pemerintah belum populer sehingga anak usia SMA bahkan sebelumnya sudah banyak yang memutuskan untuk menikah usia dini. Jadi wajar jika adegan kedekatan mereka seperti itu, jalan pendidikan mereka mungkin tidak sepanjang saat ini. Ah, namun, itu hanya pikiranku saja, kenyataannya aku lihat konsumen film ini ialah anak yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Menurutku film ini harusnya diberi label 18+ dikarenakan banyak adegan yang mengharuskan seseorang berpikir lebih bijak lagi, bukan 13+ yang notabenenya anak-anak masih terlalu labil untuk berpikir. Berlatar belakang pendidik, membuatku sedikit gusar, ketika membayangkan bahwa yang menonton adalah anak didikku sendiri. Betapa sudah susah payah kita mencoba membangun mental dan moral mereka, tetiba dihidangkan tontonan yang seperti ini. Seolah-olah ini sebuah kewajaran.

Dilan, “mau langsung atau diwakilkan?”

Milea, *tengak-tengok* “langsung boleh

Makdeg, rasanya. Memiliki latar belakang agama yang melarang tindakan-tindakan seperti itu dalam status yang tidak halal membuatku semakin resah. Namun, aku yakin, tidak hanya agamaku saja yang melarang. Semua agama pasti memiliki arahan dan aturan terbaik untuk pengikutnya. Yang aku tahu, Islam sangat keras terhadap tindakan yang mendekati zina dalam ikatan tidak halal. Mungkin aku bukan lah seorang Muslimah yang kaffah dalam beragama, namun isi kepalaku tetaplah bertanya-tanya, berpelukan sangat erat seakan tak mau lepas, hingga berciuman apakah masih kategori wajar untuk anak sekolah?

Kalau ada yang protes, “ini kan karya seni.”, “ah, lebay.”, “udah banyak yang begitu, kan.”

Ya, ini seni, tapi pertanggungjawaban terhadap perkembangan moral anak-anak Indonesia pun ada, lho. Akan lebih bijak jika seni juga diberikan sesuai takaran usia penikmatnya. Kalau sudah banyak yang salah, apa tidak bisa mencoba memperbaiki? Salam pendidik ~azr


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *