TENTANG SABAR

Assalamu’alaikum wr wb

Salam sejahtera untuk kita semua

Tidak terasa ya sudah H-2 dari #30haribercerita, cepat sekali ya

Ada yang punya ide harus challenge apa lagi di bulan berikutnya?

Ada beberapa request sebenernya tentang fotografi, kehidupan pribadi dan sebagainya yang belum aku sampaikan. Kalau fotografi berhubung aku motret hanya hari minggu, aku bingung mau cerita apa, ya gitu-gitu aja sih, hehe. Prepare pagi, sarapan, berangkat ke lokasi, motret, makan siang, udah, ehe. Tapi kalau di Surabaya memang motret budaya pernikahan tidak sesimple itu, biasanya berangkat pagi bisa pulang hingga larut malam. Namun, berhubung aku cewek (alhamdulillah masih dianggap cewek), jadi tidak pernah kebagian shift malam, pagi-siang saja, atau mentok-mentoknya sore. Kalau tentang kehidupan pribadi ada yang tanya seperti masalah dan bagaimana cara mengatasi, sepertinya itu bukan konsumsi publik, nanti malah jadi melankolis lagi nih, ehehe.

Cerita yang kira-kira untuk konsumsi publik apa ya?

Ya, kali ini aku akan bercerita tentang sesuatu yang katanya tiada batas, kalau ada batasnya, bukan “sabar” namanya.

Hari ini, Selasa 29 Januari 2019, ku mulai aktivitas seperti biasa, mengajar di salah satu sekolah yang bekerjasama dengan lembaga. Seperti biasa, anak-anak begitu menyenangkan, aktif, aku suka dengan semua tingkah mereka, tidak kaku bahkan ada yang lesehan di lantai karena ingin duduk paling depan, baiq dek. Mbak, benar-benar kalian buat jatuh cinta berkali-kali.

Tapi, pernah ngga sih, mengalami masa sulit saat mengajar hingga habis kesabaran?

Jawabanku, pernah.

Tentunya, mungkin dari sekian banyak siswa dengan keberanekaragaman warnanya, kebetulan aku sering memperoleh siswa yang koperatif. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ya akan tetap saja ada yang sulit dikontrol. Sepertinya pernah sih aku ceritakan cerita sebelumnya. Namun, cerita kali ini lebih fokus ke bagaimana menghadapi masa sulit tersebut, bagaimana menghadapi saat-saat kita kehilangan kesabaran. Terutama saat mengajar atau menghadapi seseorang.

Sama halnya dengan cerita tentang menjadi Ibu yang dirindukan (klik di sini), ketika marah, kontrol emosi, beri sedikit jeda. Nah, waktu mengajar, ada berbagai kondisi kenapa siswa sulit dikendalikan, bisa faktor internal maupun eksternal mereka. Faktor internal, bisa dari diri mereka sendiri, memang tidak niat atau banyak pikiran, tapi ini tidak begitu masalah karena hanya akan melibatkan dirinya tanpa mengganggu kondusifitas kelas, tidak mengganggu teman. Kemudian, faktor eksternal yaitu bisa dari pengajarnya, mungkin dirasa kurang menarik, ini perlu koreksi bersama, dan juga faktor temannya, nah ini yang berbahaya, karena siswa yang mengajak temannya untuk tidak kondusif akan menular membuat seisi ruangan juga tidak kondusif.

Aku pernah menghadapi siswa yang  benar-benar sulit dikendalikan, selalu ribut tapi satu kelas. Awalnya, aku koreksi diri, apakah aku yang salah dalam mengajar? Aku tanya ke rekan-rekan pengajar lainnya, oh, ternyata memang bawaan lahir, eh. Bawaan mereka, karena mereka satu sekolahan semua. Dan saking akrabnya kebablasen tidak bisa kontrol saat mengajar. Lalu, bagaimana cara ku menghadapi mereka?

Dikarenakan suara mereka pasti lebih tinggi daripada suara ku yang hanya sendiri, aku lebih memilih untuk diam. Lah, terus ngga pelajaran? Tetap berjalan, aku tetap menulis dan memberi jeda. Saat kita diam, nanti mereka akan bertanya dalam hati (jika sadar), kenapa tiba-tiba diam. Dan insyaAllah akan ada kondisi kondusif barang beberapa menit, kalau ramai lagi, diam lagi. Begitu terus diulang-ulang. Tujuannya apa? Saat kita paham kondisi tidak terkalahkan, kita mengeluarkan tenaga lebih untuk bicara padahal jelas dari segi jumlah kita kalah, kita harus menggunakan cara lain. Diam adalah emas ternyata cukup efektif untuk beberapa moment, termasuk menurunkan emosi kita. Karena saat kita melanjutkan berbicara, percayalah emosi kita semakin naik karena tidak diperhatikan.  Jadi, bagi siswa-siswaku yang baca artikel ini, paham ya kalau aku tiba-tiba menjadi pendiam saat mengajar, berarti itu bukan aku yang sebenarnya, aku hanya sedang mencoba kontrol diri.

Begitu pun dalam kehidupan sehari-hari, jika kita sudah mulai emosi, diam, jangan berbicara sepatah atau dua patah kata pun. Karena ada sebuah pepatah (lah, kok patah-patah terus), begini: “Jangan berbicara saat sedang marah, dan jangan berjanji saat kau sedang bahagia”.

Asing ya pepatahnya? Hehe, udah iyain aja. Intinya ya, berbicara saat marah ditakutkan akan menimbulkan kalimat-kalimat yang malah nanti tidak enak didengar dan cenderung menyakiti, sedangkan  berjanji saat sedang bahagia aka menimbulkan ilusi, padahal marah dan bahagia ialah kondisi tidak sadar manusia. Lah kok tidak sadar? Ya, tingkat logika manusia akan berkurang saat dia sedang marah dan atau bahagia. Maka, berhati-hati lah.

Tarik napas dalam, keluarkan. Hayuk ngeteh sejenak. Salam damai ~azr


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *