Assalamu’alaikum wr wb
Salam sejahtera untuk kita semua
Hari ini Senin, 28 Januari 2019, ada cerita apa ya?
Entah, beberapa waktu lalu aku sempat membuka memori kembali terkait mendaki gunung, banyak foto di instagram tentang pendakian yang sudah ku arsipkan, ku buka kembali. Ya, ada perasaan rindu ternyata terhadap ketinggian. Namun, sudah aku putuskan untuk istirahat sejenak. Ya, istirahat bukan berarti berhenti sih, hehe. Wallahu’alam.
Berbicara soal naik gunung, sebenarnya apa sih yang membuatku ingin mendaki? Padahal jelas, Mama melarang, pertama kali pendakian besar yang dilarang ialah saat Pendidikan Lanjut (Dikjut) Ikatan Siswa Pecinta Alam (IKSAPALA) SMA Negeri 1 Kebumen tahun 2010 silam. Alasannya cukup unik, “Gunung Lawu itu angker, mbak.”, ujar Mama. Ya, tidak salah sih, aku pun paham kondisi baik yang terlihat maupun yang tidak terlihatnya. Sejak pelarangan tersebut, aku hingga saat ini belum menjadi anggota penuh di organisasi tersebut, walaupun sudah pernah ikut Dikjut juniorli waktu itu ke Merbabu, tapi ya tidak resmi, jadi tetap saja tidak dikukuhkan. Tak apalah, apa arti sebuah tingkatan dalam hal ini.
Jika ada yang bertanya, “Lah, kok dilarang tapi masih bisa naik gunung?”, dilarang kan kalau ijin sebelum berangkat, kalau melaporkan sudah di lokasi insyaAllah tidak dilarang, kok. Astaghfirullah. Prinsip ini yang kemudian digunakan Adikku juga yang kebetulan memiliki hobi yang sama, nyari capek di Gunung. Dia malah lebih ekstrim, semua gunung tinggi di Jawa Tengah sudah dia daki. Kalau mbaknya ini masih mikir-mikir, karena cari hari libur di organisasi aja susah, dari dulu terbiasa hanya punya hari libur di hari minggu, jadi Sabtu malam berangkat, Minggu pagi summit, terus pulang deh. Udah gitu doang. Jadi yang dekat-dekat saja, seperti Merbabu-Merapi dan sekitarnya.
Terkadang kalau dipikir-pikir, benar juga kata Mama, naik gunung itu harus berjalan kaki menanjak berkilo-kilo meter, dengan beban tas carrier di pundak yang tidak ringan, track yang juga tidak mudah, capek pasti, “Lantas apasih yang dicari?”
Ada untaian kalimat yang aku suka dari salah satu tokoh idolaku, Soe Hok Gie,
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung“.

Ya, jika kita mencintai harus lah kita coba memahami, mendekat dan coba meresap. Cinta pada Tuhan pun begitu, kan? Kita harus selalu dekat dengan-Nya, pun dengan ciptaan-Nya. Benar kata Soe Hok Gie, manusia ini mahluk yang diciptakan berakal, jadi hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Begitu pun dengan alam ini. Banyak sih pelajaran yang dapat ku petik dari mendaki gunung, aku bisa mencium bau pohon, tanah, embun tanpa kontaminasi asap polusi. Asri. Merasakan saat alam marah, menangis, dan akhirnya tetap memeluk kami erat dalam dinginnya. Ya, moment paling indah saat tidur di atas tanah dan beratap langit memang. Apa pernah? Kan pakai tenda. Pernah, kok. Saat pendakian ke Merapi sebelum summit ke Puncak, kami harus istirahat tanpa tenda, ya walau dekapan alam begitu dingin waktu itu, tapi kami nyaman. Alam pernah marah? Pernah juga, berjalan kurang lebih 12 jam dengan dibarengi hujan sepanjang jalan, pohon-pohon juga banyak tumbang. Ya, mungkin mereka merasa terusik dengan kedatangan kami padahal kami yang rindu. Yah, begitu lah. Alasan klasik seperti cerita orang-orang pada umumnya, namun ini memang nyata.
Lantas, kenapa berhenti? Dikatakan berhenti sepenuhnya juga sepertinya tidak. Mana mungkin bisa benar-benar berhenti, namun, mencoba mengurangi frekuensi saja. Kalau suatu saat diberi kesempatan untuk berkunjung lagi, mungkin dengan suami, karena nyatanya di usia seperti ini sudah berkurang rasa nyamannya ketika harus berpergian dengan teman-teman yang pria lain. Klasik ya? Hehe. Beda sama dulu, suka mendadak, kalau mau naik gunung, H-2 gitu tinggal update status di BBM, akhirnya banyak yang ikut walau mayoritas pria. Namun, jujur, sekarang sudah tidak nyaman lagi. Kalau pun harus mendaki harus banyak wanitanya, ya. Susah pasti, hehe. Dan kalau pun itu terjadi harus siap fisik ekstra karena ada tanggung jawab membackup. Masih kuat tidak ya? Haha. Tapi intinya, terima kasih Tuhan telah menciptakan alam ini dengan sedemikian rupa untukku belajar di dalamnya. Semoga mereka masih nyaman dengan ku di bumi ini, semoga masih selalu ingin bersahabat juga denganku hingga akhir waktu. Salam lestari ~azr
Noted: kalau mau cek blogku yang lama, beberapa kisah pendakian pernah aku tulis, sih. (klik di sini)
Leave a Reply