KELUARGA CEMARA

Assalamu’alaikum,

Salam sejahtera untuk kita semua.

Jadi tidak terjadwal gini yah postingnya, besok juga kemungkinan tidak terjadwal lagi, hehe.

Namun, semoga tidak mengurangi esensi pembuatan tulisan ini sendiri.

Hari ini saya akan bercerita tentang sebuah film Indonesia yang sedang tayang, Keluarga Cemara.

Rate 8/10, recomended. Kenapa ngga 10? Karena tidak berhasil membuatku meneteskan air mata berkali-kali, ya cuma sesekali. Apaan sih. Mungkin imajinasiku kurang masuk ke film karena memang gambaran keluarga ku dan keluarga cemara amatlah berbeda, jadi sangat sulit dibayangkan. Namun, aku berusaha kok. Tapi ya jatuhnya membayangkan dengan nalar saja, belum sampai ke perasaan mendalam.

Pada akhirnya, setelah nonton film ini hanya bisa bilang, “salut”. Menjadi orang tua seperti itu pasti butuh kekuatan batin super. Bagaimana seorang Abah menjaga perasaan Istri dan anak-anaknya dalam kondisi sulit sekalipun. Scene yang aku suka ialah saat Abah ditelpon pengacara dan disitu yang disampaikan oleh pengacara ialah Abah akan kalah banding karena menandatangi surat kuasa. Namun, seorang Abah yang dinanti oleh Istri dan anak-anaknya justru mampu membelokkan dengan senyuman dan acungan jempol. Sakti memang Abah ini. Saat hatinya hancur sehancur-hancurnya karena pailit. Tetap berusaha membuat tenang keluarga.

Selain Abah, Emak juga menjadi sosok inspiratif akhir pekan ini. Tapi tidak terkalahkan tetap Mama aku sih yang paling inspiratif, hehe. Kembali soal Emak, beliau digambarkan memiliki sifat yang penyabar juga melengkapi kesabaran Abah, mereka paket lengkap sih menurutku. Saat satu khilaf, satu mengingatkan. Begitu pun sebaliknya. Itu sih fungsi keluarga. Abah memang bertanggung jawab atas Emak dan anak-anaknya, tapi Abah juga merupakan tanggung jawab Emak dan anak-anak.

Film ini membuatku berpikir mendalam. Menjadi orang tua itu berat, sangat berat. Sungguh, betapa penyabarnya seorang Abah pun bisa lepas kesabarannya saat itu. Ia akhirnya menjadi sesosok yang bisa memarahi Euis karena merasa keberatan.

Aku sempat nyletuk, “Wah, ngga boleh itu, orang tua memarahi anaknya bisa ngaruh ke psikis anak.”

Namun, seseorang menjawab, “Kadang ada suatu kondisi dimana kita paham teorinya, kita paham ini tidak boleh, tapi karena kondisi tersebut kita diluar kesadarkan diri kita melakukan kesalahan tersebut. Yang terpenting, akhirnya Abah pun mengambil pelajaran setelah Ia marah tadi, kan?”

“Iya juga,” jawabku.

Aku juga sadar diri, sesabar-sabarnya aku sebagai pengajar di saat mengajar. Pasti ada suatu kondisi yang bisa membuatku mengeluarkan nada tinggi, diluar kesadaran diriku. Oleh karena itu, aku selalu berharap semoga Allah tidak jenuh dengan hambaNya yang pendosa ini, semoga Ia senantiasa membantu ku dalam mengontrol diri. Terutama saat jadi orang tua kelak. Pasti tidak mudah. Doaku hari ini, semoga kita termasuk hamba yang beruntung ya, yang diberi kemudahan dalam segala impian kita. Diberikan keluarga yang damai dan selalu membuat ingin pulang. Sehidup sesurga, aamiin. ~azr


Posted

in

, ,

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *