Pada akhir bulan Juni 2018 kemarin, netizen sempat meributkan salah satu fitur di instagram yaitu “question” atau “ask me a question”. Awalnya banyak netizen yang menggunakannya seperti mereka menggunakan salah satu sosial media juga, yaitu ask.fm. Awalnya para pengguna instagram menggunakan fitur tersebut untuk memberi kebebasan pengikutnya untuk menanyakan beberapa hal kepada mereka. Lantas apa yang menyebabkan keributan? Tiba-tiba, ada salah satu akun instagram yang memiliki banyak followers viral karena sebuah “klarifikasi” terkait penggunaan fitur “question” tersebut. Tidak hanya di instragram, twitter pun turut menjadi trending topic. Banyak dari netizen kemudian me-retweet, screenshoot dan repost hasil “klarifikasi” tersebut. Hingga menimbulkan banyak asumsi dan perdebatan.
Hasil klarifikasi tersebut menyebutkan bahwa selama ini pengguna instagram telah salah kaprah dalam menggunakan fitur tersebut. Menurutnya, dalam ask me question, “me” yang dimaksud ialah instagram atau followers. Jadi pengguna boleh melontarkan pertanyaan sehingga followers menjawab. Sebenarnya, tidak masalah siapa yang harus bertanya maupun siapa yang harus menjawab pertanyaan tersebut. Namun, sikap saling menyalahkan yang menyebabkan perdebatan.
Jika kita resapi, ketidaktahuan seseorang tapi merasa paling tahu lah yang menjadikan perpecahan berbagai kalangan. Sama halnya dengan beberapa kasus yang Negara ini hadapi. Lebih percaya “katanya” tanpa klarifikasi langsung dengan pihak terkait. Lebih mudah tersulut emosi tanpa ada bukti. Dalam hal ini tentunya developer instagram berperan penting untuk menghentikan perdebatan. Kemudian sebagai netizen yang cerdas seharusnya juga tidak mudah terbawa arus asumsi publik tanpa klarifikasi. Perdebatan ini pada akhirnya berakhir setelah instagram memunculkan klarifikasi kemarin, bisa cek link instagram press, berikut: https://instagram-press.com/blog/2018/07/10/introducing-the-questions-sticker/
Berkaca dari kasus instagram, kehidupan sehari-hari kita pun sebaiknya kita koreksi lagi.
Berpendapat boleh, menggiring asumsi publik jangan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berpendapat, antara lain:
- Berdasar data dan fakta
Mungkin ini yang perlu disyukuri mengapa para penyandang gelar sarjana harus membuat skripsi, karena pembiasaan meneliti secara objektif memang diperlukan. Tidak haya percaya apa “katanya” orang. Penelitian sumber terkait sangat diperlukan. Skeptis itu penting. Bukan su’udzon, namun kalau kata bang napi, “waspadalah, waspadalah”.
- Tidak memaksa orang mengikuti pendapat kita
Berbeda pendapat sangat diperbolehkan. Indonesia pun menjadi indah karena adanya perbedaan. “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetap satu juga. Namun, perlu adanya sikap netral dan saling menghargai pendapat. Jangan memaksa seseorang untuk satu pemahaman dengan kita apalagi hingga mengancam.
- Tidak menjatuhkan pihak lain
Berhubungan dengan poin kedua, adanya perbedaan pendapat bukan berarti kita boleh saling menghancurkan. Menilai yang tidak sependapat dengan kita sebagai orang yang bodoh, alay, salah, dsb. Hingga ada celetukan,”Maha benar netizen atas segala judgementnya”. Kalau dalam Islam ada istilah, “tabayyun” setiap mendapat informasi. Bukan kapasitas kita untuk memberikan judgement, menilai seseorang baik atau tidak. Hanya Tuhan yang bisa menilai.
Wallahu a’lam bisshowab.
Leave a Reply